Sabtu, 14 September 2019

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DAN POLA KONSUMSI DENGAN STATUS GIZI BALITA KELUARGA PETANI (Studi di Desa Jurug Kabupaten Boyolali Tahun 2017)

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal)

Volume 5, Nomor 3, Juli 2017 (ISSN: 2356-3346)
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DAN POLA KONSUMSI DENGAN STATUS GIZI BALITA KELUARGA PETANI (Studi di Desa Jurug Kabupaten Boyolali Tahun 2017)

Adelia Marista Safitri, Dina Rahayuning Pangestuti, Ronny Aruben

Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Diponegoro

Email :rista_adelia@yahoo.com



ABSTRACT

The condition of family food security is influenced by the ability of the family to fulfill their food needs and result in the lack of nutritional fulfillment of family members, including toddlers. This type of research is analytical research using cross sectional approach. The population and the sample in this study were 43 toddlers aged 24-59 months selected with purposive sampling method. Data were analyzed using Pearson and Rank Spearman trials. The results of this study indicate most (65,1%) family food security in the category of not food resistant. The average food diversity score was 4,86 with moderate category (67,4%). The level of energy consumption was less than 48,8% and level of protein consumption was excessive (53,5%). Nutritional status of children under five by BB/TB was mostly (86%) normal, BB/U was in good nutrition (86%), and TB/U was normal (81,4%). There were correlations of food security with the level of energy consumption (ρ=0,000), protein consumption’s level (ρ=0,048), BB/U (ρ =0,036), and TB/U (ρ=0,010); level of energy consumption with BB/TB (ρ=0,006); levels of protein consumption with TB/U (ρ=0,005). There were no correlations between food type diversity with energy (ρ=0,129) and protein (ρ=0,376) consumption level; energy consumption level with BB/U (ρ=0,785) and TB/U (ρ=0,382); levels of protein consumption with BB/TB (ρ=0,091) and BB/U (ρ=0,240); food security with BB/TB (ρ=0,324). It was suggested for the children under five’s family to utilize the soil with garden plants or to raise livestock to fulfill households needs while also improving socio-economy so that nutritional needs can be fulfilled.

Keywords : household food security, consumption pattern, nutritional status, children

under five, farmer household.

PENDAHULUAN

Masalah gizi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia.Masa balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak karena pada masa ini anak mudah sakit dan

mudah terjadi kurang gizi. Kekurangan gizi umumnya terjadi pada masa balita karena pada umur

tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat.1,2

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia 2013, secara nasional, prevalensi berat kurang pada anak balita tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Perubahan yang terjadi pada tahun 2007 hingga 2013 terutama pada kenaikan prevalensi gizi buruk sebanyak 0,3% sedangkan prevalensi gizi kurang mengalami kenaikan sebesar 0,9%.3

Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Boyolali tahun 2014, sejumlah 0,9% balita yang ditimbang memiliki berat badan di bawah garis merah dan 5,45% kasus balita gizi kurang di Kabupaten Boyolali. Kasus gizi buruk ditemukan mengalami kenaikan dari 17 menjadi 23 kasus

pada tahun 2013 hingga 2014.4Melalui hasil pemantauan status gizi balita di Provinsi Jawa Tengah, kendala di lapangan antara lain tingkat kemiskinan, kurangnya asupan zat gizi, penyakit infeksi, pola asuh, ketersediaan pangan di tingkat keluarga dan daya beli masyarakat.

Pertanian berpengaruh terutama terhadap gizi melalui produksi pangan dan ketahanan pangan keluarga. Jika pangan diproduksi dalam jumlah dan ragam yang cukup, kemudian bahan tersedia dengan cukup di tingkat desa atau masyarakat dan keluarga memiliki uang yang cukup untuk
membeli keperluan pangan yang tidak ditanam di tempatnya maka tidak akan banyak terjadi kurang gizi.5

Menurut peta akses pangan tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Boyolali termasuk dalam 24 kabupaten yang berada pada kondisi rawan pangan. Penyebab dominan kerawanan pangan adalah masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah, terlihat dari persentase keluarga pra dan sejahteraI sebesar 49,65%. Prevalensi gizi buruk-kurang di Kabupaten Boyolali sebesar 17,33%, prevalensi sangat pendek-pendek 31,66%, dan prevalensi sangat kurus-kurus 2,27%. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dan Pola Konsumsi dengan Status Gizi Balita Keluarga Petani di Kabupaten Boyolali tahun 2017.

METODE

Jenis penelitian ini bersifat explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antar variabel penelitian yang menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode yang digunakan adalah metode survei analitik yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah individu mengenai variabel tertentu melalui kuesioner serta menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian dimana data yang menyangkut variabel bebas maupun variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.6 Populasi dan sampel dalam penelitian diambil secara total sampling yaitu 43 balita usia 24-59 bulan yang berasal dari keluarga petani di Desa Jurug dan dipilih dengan metode purposive sampling yaitu didasarkan pada pertimbangan tertentu berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.6
Data yang dianalisis adalah: a) data ketahanan pangan keluarga. b) data keragaman jenis pangan. c) data tingkat konsumsi energi dan protein. d) data status gizi balita di Desa Jurug. Analisis hubungan menggunakan program uji statistik SPSS dengan uji korelasi Pearson dan Rank Spearman.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketahanan Pangan

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Ketahanan Pangan Keluarga Balita di Desa Jurug

Ketahanan Pangan Keluarga
(n)
(%)
Tahan Pangan (2)
15
34,9
Tidak Tahan Pangan
28
65,1
(0-1)
Jumlah
43
100,0


Berdasarkan tabel 1, persentase keluarga tidak tahan pangan lebih banyak (65,1%) dibandingkan dengan persentase keluarga tidak tahan pangan (34,9%).

Rata-rata tingkat ketahanan pangan keluarga yang tergolong tidak tahan pangan disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan habisnya persediaan pangan, tidak dapat menyediakan makanan bergizi seimbang untuk rumah tangga, ketidakmampuan ibu dalam menyediakan makanan bergizi seimbang untuk anak, dan pemerolehan makanan pokok yang terkadang bergantung dari pemberian orang lain.
Keberagaman Jenis Makanan Tabel 2. Distribusi Frekuensi Keberagaman Jenis Makanan Balita di Desa Jurug
Keberagaman Jenis Makanan
(n)
(%)

Tinggi (≥ 6 kelompok pangan)
11
25,6
Sedang (4-5 kelompok pangan)
29
67,1
Rendah (≤ 3 kelompok pangan)
3
7,0
Jumlah
43
100,0

Tabel 2.menunjukkan bahwa sebagian besar (67,1%) keberagaman jenis makanan pada balita termasuk pada kelompok pangan sedang. Kelompok pangan yang sering dikonsumsi oleh balita adalah nasi, kacang-kacangan, susu, makanan bersumber hewani, sayur dan buah-buahan kaya vitamin A maupun lainnya.

Sumber energi yang paling sering dikonsumsi balita adalah nasi sebagai makanan pokok.Roti dan biskuit menjadi sumber energi yang cukup sering dikonsumsi oleh balita sebagai selingan.Sumber protein yang paling sering dikonsumsi balita adalah protein hewani yaitu sebanyak 69% yang terdiri dari telur, daging ayam, dan ikan. Sumber protein nabati yang dikonsumsi oleh balita hanya 31% yang terdiri dari tahu dan tempe.
Tingkat Konsumsi Gizi berdasarkan tabel
3. Diketahui bahwa sebagian besar (48,8%) balita mengalami kekurangan tingkat konsumsi energi dan sebagian besar (53,5%) balita mengalami kelebihan tingkat protein.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat normal pada indeks  BB/TB
Konsumsi Gizi pada Balita di Desa Jurug
(86,0%),  gizi  baik  pada  indeks BB/U(86,0%), dan normal pada Tingkat Konsumsi Gizi
(n)
(%)
Indeks TB/U (81,4%).
Energi

E.  Hubungan Ketahanan Pangan
Normal (100-130%
3
7,0 (AKG)
Keluarga dengan tingkat Kurang 70-≤100%
21
48,8 (AKG)

Konsumsi Gizi Balita
 Tabel 5.   Hasil   Korelasi   antara
Defisit (<70% AKG)
19
44,2

Ketahanan Pangan Keluarga dengan
Jumlah Keluarga
43
100,0

Tingkat Konsumsi Gizi Balita
Protein
Variabel
Tingkat
(n)
(r)
Lebih (>100% AKP)
23
53,5
ρ
Konsumsi
Baik (80-100% AKP)
18
41,9
Kurang (<80% AKP)
2
4,7
Ketahanan Energi
0,511
0,000*
Jumlah Pangan
43
100,0
Protein
43
0,304
0,048*
Sumber energi yang paling sering dikonsumsi adalah Jenis Pangan Protein
Keberagaman Energi
43
0,235
0,139
0,376
Sumber protein yang paling sering dikonsumsi balita adalah protein hewani yang terdiri dari telur, daging ayam, dan ikan sedangkan sumber protein nabati terdiri dari tahu dan tempe.

D.  Status Gizi Balita

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Desa Jurug
Kategori
(n)
(%)
Indeks BB/TB
Normal
37
86,0
Kurus
6
14,0
Jumlah
43
100,0
Indeks BB/U
Gizi Lebih
1
2,3
Gizi Baik
37
86,0
Gizi Kurang
5
11,6
Jumlah
43
100,0
Indeks TB/U
Tinggi
2
4,7
Normal
35
81,4
Pendek
6
14,0
Jumlah
43
100,0

Berdasarkan tabel 4, sebagian besar balita petani di Desa Jurug memiliki status gizi
Tabel 5 menunjukkan adanya hubungan bermakna
antara ketahanan pangan
keluarga dengan tingkat konsumsi balita, baik energi dan protein. Korelasi positif pada keduanya menandakan bahwa semakin tinggi tingkat ketahanan pangan keluarga maka akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi energi dan protein pada balita.Sebagian besar (83,3%) balita dengan tingkat konsumsi energi yang kurang cenderung berasal dari keluarga tahan pangan namun sebagian besar (60,7%) balita dengan tingkat konsumsi energi yang defisit cenderung berasal dari keluarga tidak tahan pangan.
Rumah tangga petani di lokasi penelitian umumnya adalah rumah tangga yang memiliki pendapatan relatif rendah atau dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK)
sehingga tingkat  kesejahteraannya masih rendah.Artinya rumah tangga petani masih mengeluarkan bagian yang lebih besar untuk keperluan pangannya dan masih  belum memprioritaskankecukupan gizi bagi keluarga. Status ketahanan pangan rumah tangga responden terbanyak adalah tidak tahan pangan yang berarti bahwa sebagian besar rumah tangga responden harus mengeluarkan sejumlah uang yang lebih banyak untuk memperoleh pangan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.8

Ketergantungan yang tinggi pada beras sebagai sumber energi merupakan penyebab konsumsi energi yang belum mencukupi angka kecukupan energi.9 Apabila konsumsi beras sebagai sumber energi utama kurang, maka akan berakibat
pada rendahnya tingkat konsumsi energi.

Ketahanan pangan tingkat keluarga mendukung tingkat konsumsi protein sehingga semakin baik ketahanan pangan keluarga maka tingkat konsumsi protein juga akan semakin baik. Lebihnya nilai tingkat konsumsi protein 111,5% AKG)
disebabkan karena kecenderungan mengonsumsi tahu, tempe, telur, dan susu dalam jumlah yang cukup setiap harinya.Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor kemudahan dalam mendapatkan tahu, tempe, dan telur sehingga menjadi pilihan rumah tangga untuk dikonsumsi.

F. Hubungan Keberagaman Jenis
Pangan dengan Tingkat Konsumsi Gizi
Hasil penelitian pada tabel 5 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara keragaman jenis makanan dengan tingkat konsumsi energi (r = 0,235; ρ = 0,129) maupun (r 0,139; ρ = 0,0,376). Tidak adanya hubungan disebabkan oleh balita dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada masing-masing kategori memiliki kemungkinan yang sama pada keragaman jenis makanan yang tinggi (≥ 6 jenis makanan), sedang (4-5 jenis makanan) maupun rendah (≤3 jenis makanan).Rata-rata responden mengonsumsi 4-5 kelompok pangan yang berbeda menandakan bahwa konsumsi pangan mereka menawarkan keragaman yang baik dalam zat gizi makro maupun mikro.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan balita dengan tingkat konsumsi energi yang defisit mengonsumsi makanan dengan keragaman yang rendah. Di sisi lain, sebagian besar (66,7%) balita dengan tingkat konsumsi protein yang baik justru mengonsumsi makanan dengan keragaman yang rendah. Variasi makanan dalam sehari yang didominasi oleh karbohidrat dan protein saja.Sebagian ibu balita beranggapan bahwa dengan meminum susu maka telah menyempurnakan gizia balitanyasehingga dapat menutupi kekurangan gizi yang berasal dari sayur-sayuran yang jarang disukai balitanya.

Penelitian yang dilakukan pada balita usia 12-23 bulan di Wilayah Pantura Kabupaten Brebes menemukan bahwa sebagian besar (63,9%) anak mengonsumsi makanan yang

tidak beragam. Akibatnya terdapat sebanyak 56,7% anak dengan status gizi pendek mengalami kekurangan asupan energi dan 70,5% kekurangan asupan protein.Penelitian lain olehEtylusfina menemukan bahwa terdapat hubungan keanekaragaman menu dengan tingkat konsumsi protein dan status gizi balita di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan.10 Perbedaan hasil penelitian kemungkinan disebabkan oleh pengetahuan gizi ibu namun tidak diteliti.

G. Hubungan   Tingkat   Konsumsi Energi dengan Status Gizi Balita Adanya  hubungan  antara tingkat konsumsi energi dengan BB/TB balita pada tabel 6 terlihat dari  keseluruhan  balita  dengan status  gizi  normal  cenderung memiliki tingkat konsumsi energi yang kurang serta 68,4% lainnya defisit.  Namun,  sebagian  besar (31,6%)    balita    gizi    kurus mengalami efisit  tingkatkonsumsi energi.

Tabel 6. Hasil Uji Korelasi antara Variabel-Variabel Bebas dengan Status Gizi Balita

Variabel
Status
(r)
ρ

Gizi

Tingkat
BB/TB
0,414
0,006*

Konsumsi
BB/U
0,043
0,785

Energi
TB/U
0,137
0,382

Tingkat
BB/TB
0,261
0,091

Konsumsi
BB/U
0,183
0,240

Protein
TB/U
0,419
0,005*

Ketahanan
BB/TB
0,154
0,324

Pangan
BB/U
0,320
0,036*

Keluarga
TB/U
0,389
0,010*

Tabel 6 menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan BB/U
dan TB/U.Hasil tersebut menggambarkan balita dengan status gizi indeks BB/U maupun TB/U memiliki kemungkinan yang sama pada tingkat konsumsi energinya. Tidak adanya hubungan dimungkinkan
karena frekuensi makan.
125 respondenyang kurang dari 3 hari sehari sehingga terdapat status gizi dalam kategori kurus.
Perbedaan hasil penelitian kemungkinan disebabkan karena
indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini dengan lebih sensitif dan spesifik.Berat badan yang dinyatakan dalam BB/U sangat peka terhadap perubahan mendadak, baik karena penyakit

infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.Tinggi badan kurang peka jika
dipengaruhi oleh pangan dibandingkan dengan berat badan. Pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada waktu yang relatif lama sehingga indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu.11

Balita yang mengalami gizi kurang dan tingkat konsumsi energi yang defisit disebabkan karena konsumsi beras sebagai sumber energi utama responden
belum mencapai angka kecukupan energi. Kebiasaan balita yang tidak makan malam dan hanya mengonsumsi biskuit, roti, atau jajanan lainnyabmengakibatkan terjadinya
ketidak-seimbangan antara asupan energi dengan energi yang dikeluarkan.

H.  Hubungan   Tingkat   Konsumsi Protein dengan Status Gizi Balita Tidak  adanya  hubungan tingkat konsumsi protein dengan BB/TB dan BB/U pada tabel 6 terlihat  dari  keseluruhan  balita berstatus   gizi  normal 
pada indeksBB/TB mengalami kekurangan tingkat konsumsi protein. Namun di sisi lain, sebagian besar (27,8%) balita dengan gizi kurus justru memiliki tingkat konsumsi protein yang baik. Sedangkan tidak adanya hubungan dengan BB/U terlihat dari sebagian besar (88,9%) balita dengan status gizi yang baik memiliki tingkat konsumsi protein yang baik. Di sisi lain, sebagian besar (50%) balita dengan malnutrisi (gizi kurang) mengalami kekurangan tingkat konsumsi protein.Tidak adanya hubungan antara asupan protein dan status gizi kemungkinan karena adanya variabel yang tidak teliti antara lain pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan keluarga yang rendah.

Berbeda dengan BB/TB dan BB/U, ada hubungan bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi balita menurut indeks TB/U. Hal ini ditandai dengan sebagian besar (87%) balita dengan status gizi yang normal mengalami kelebihan tingkat konsumsi protein dan tidak ada yang mengalami kekurangan tingkat konsumsi protein. Namun, seluruh balita tidak normal mengalami kekurangan tingkat konsumsi protein.

Tingginya tingkat konsumsi protein disebabkan karena balita yang menjadi responden mengonsumsi telur dan susu formula secara berlebihan. Frekuensi konsumsi telur lebih dari 2 kali sehari dan susu formula biasanya lebih dari 3 kali dengan jumlah takaran 4-5 sendok teh. Berdasarkan daya dukungnya bagi pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan protein sempurna dapat bersumber dari makanan hewani.
Gizi kurang pada anak balita menjadikan tubuh kurus dan pertumbuhannya terhambat terjadi karena kurang zat yang bersumber dari zat tenaga dan pembangun yang diperoleh melalui konsumsi makanan anak.
12. Jika terlalu berlebihan mengonsumsi protein juga akan sangat membebani kerja ginjal. Makanan yang tinggi proteinnya biasanya tinggi lemak pula sehingga menyebabkan obesitas. Kelebihan protein pada bayi dapat memberatkan kerja ginjal dan hati yang harus dimetabolisme dan juga dapat menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amonia darah, kenaikan ureum darah, dan demam.13
I. Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Balita

Tidak adanya hubungan disebabkan oleh sebagian besar (93,3%) dengan status gizi baik indeks BB/U cenderung berasal dari keluarga balita yang tahan pangan namun sebagian besar (17,9%) balita malnutrisi (gizi kurang) cenderung berasal dari keluarga tidak tahan pangan.Di sisi lain, ada hubungan antara ketahanan pangan keluarga dengan BB/U dan TB/U (ρ<0,05). Hal ini memiliki arti bahwa semakin baik ketahanan pangan keluarga maka semakin baik pula BB/U dan TB/U pada balita.

Banyaknya responden yang bermata pencaharian sebagai buruh tani membuat ketersediaan dan akses mereka terhadap pangan tidak semudah keluarga pemilik lahan.Keluarga buruh tani menggantungkan kebutuhan makanan pokoknya dari warung atau pasar yang
dekat dengan tempat tinggalnya.Tingkat kemudahan dalam memperoleh sumber
pangan ini tentunyang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi keluarga, termasuk balitanya. Bila pola makan keluarga baik dan tidak mengalami pengurangan frekuensi dan ukuran makan, variasi makanan beragam serta tidak menderita penyakit atau infeksi maka tingkat kecukupan gizi keluarga akan baik pula. Dampak selanjutnya akan terjadi peningkatan status gizi yang baik bagi keluarga, khususnya bagi balita.

Menurut Riyadi, kemiskinan dapat menyebabkan terjadinya ketersediaan pangan yang
memburuk. Secara tidak langsung keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit, serta ketidakcukupan konsumsi energi dan zat gizi.
14. Berdasarkan hasil penelitian, keluarga dengan kondisi tidak tahan pangan lebih banyak memberikan dampak status gizi kurang (17,9%), status gizi kurus (17,9%), dan status gizi pendek (21,4%). Penyebabnya adalah pola makan dan asupan makan anak yang kurang baik.Di samping itu, tingkat pendapatan yang tidak menentu bagi buruh tani menunjukkan status ekonomi yang rendah sehingga berpeluang terhadap kerawanan pangan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara ketahanan pangan keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein, tingkat konsumsi energi dengan BB/TB, tingkat konsumsi protein dengan TB/U, dan ketahanan pangan keluarga dengan BB/U dan TB/U dengan nilai p<0,050. Tidak ada hubungan antara keragaman jenis makanan dengan tingkat konsumsi energi dan protein; tingkat konsumsi energi dengan BB/U dan TB/U; tingkat konsumsi protein dengan BB/TB dan BB/U; ketahanan pangan dengan BB/TB karena nilai p>0,050.

DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: EGC; 2002.

Adisasmito W. Faktor Resiko Diare Pada Bayi dan Balita di Indonesia. Universitas Indonesia; 2007.

Kementerian Kesehatan RI. RISKESDAS 2013. Jakarta; 2013.

Dinas   Kesehatan   Kabupaten
Boyolali. Profil Kesehatan Kabupaten Boyolali Tahun 2014. 2014.

Suhardjo, Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Suhardjo, editor. Jakarta: UI Press; 2009.

Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
Soblia ET. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga di daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah. Bogor; 2009.

Amaliyah H, Handayani SM. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi di Kabupaten Klaten. SEPA. 2011;7 (2):110–8.
Yudaningrum A. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan dengan

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal)
Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Petani di Kabupaten
Kulon Progo. Universitas
Sebelas Maret; 2011.

Zahraini Y. Analisis Biaya Minimum Makanan Bergizi dan Pemberian Makanan terhadap Status Gizi (12-23 Bulan) di Wilayah Pantura, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Universitas Indonesia; 2012.

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2001.
Khayati S. Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita pada Keluarga Buruh Tani di Desa Situwangi Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara. Universitas Negeri Semarang; 2011.
Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2009. 77-309 p.

Riyadi H. Materi Pokok Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka; 2006.
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DAN POLA KONSUMSI DENGAN STATUS GIZI BALITA KELUARGA PETANI (Studi di Desa Jurug Kabupaten Boyolali Tahun 2017)

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 5, Nomor 3, Juli 2017 (ISSN: 2356-3346) http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm HUB...